Jumat, 24 Juli 2009

sentuh aku dengan doa mu


kini aku tengah berjalan di gurun yang tandus, jangankan sebuah oase sebatang kaktus pun tak kutemukan disini. aku terus berjalan melawan gumpalan debu yang menerjang wajahku. mataku tak luput dari setiap benda yang kutemukan disini dan tak satupun yang mampu memuaskan dahagaku. rasa haus kian menjalar dari ujung tenggorokanku, aku kian mempercepat langkah menuju sebuah kotak besar dengan banyak pintu. apakah kotak besar itu seperti tempat tinggalku yang disebut rumah??? aku makin mendekat, mencoba mendorong pintunya dan ingin tahu apa ada apa didalamnya. namun sama sekali tenagaku tak mampu untuk mendorongnya, aku jatuh terduduk di pintu utama, kini aku menuju pintu kedua dan pintu itupun lebih rapat dari pintu yang pertama.
pintu ketiga hingga pintu ketujuh dan tak satupun yang mengijinkan aku masuk. dalam keadaan lemah tak berdaya aku kembali melanjutkan perjalanan namun, bunyi deritan pintu seperti menahan langkahku, aku menoleh dan ku lihat pintu itu terbuka lebar dan air jernih pun mengalir didalamnya. aku hendak berlari kesana melepaskan dahaga yang tengah mengisi kerongkonganku, namun ketika aku berlari aku malah terjatuh dan terseret kedalam sebuah gua gelap. kegelapan itu terus menemaniku, aku tak mampu keluar dari sini, dalam dahagaku yang tak terkira aku terus disini memejamkan mata dan menanti setitik air dan seberkas cahaya dari orang2 terkasihku.

Kamis, 23 Juli 2009

mati itu pasti


akan datang hari itu, hari dimana tak lagi kurasakan hangatnya sinar mentari, hari yang penuh kegelapan akan mengisi setiap sudut pandanganku.kedua mataku tertutup rapat, bibirku pucat, kulitku menguning dan keriput.

tak lagi kurasa lembutnya belaian orang terkasih, semua kaku dan bisu. jiwaku melayang jauh menggapai apa yang selama ini telah kusimpan disana. jauh disana tak kutemukan ragaku, tak kukenali diriku. senyumku sirna, mataku nanar menyaksikan gambaran itu. ingin ku ulang kembali berjalan dengan kaki kananku, ingin kuraih keindahan itu dengan tangan kananku, tapi... hari itu aku berjalan sempoyongan dengan mengandalkan kaki kiri dan tetap memegang bara api dengan tangan kiriku. sungguh tak seimbang, aku jatuh dan bangkit lagi hingga kulalui jalan panjang yang penuh duri itu.


keadaan telah menertawakan aku, mentaripun ikut mengejekku,mendekati ubun2ku dan menyiramkan sinarnya yang tajam tepat di jantungku. aku meraung meminta belas kasihan dari siapa saja yang ada disekitarku, tapi mereka terus tertawa dan tertawa. siksa terus menerpa tubuh mungilku yang tercipta dari bara hitam bekas kenikmatan yang pernah terbakar sebelumnya.